Perubahan Kecil

Tidak ada komentar

unsplash.com/Mardanafin

Aku kembali berhadapan dengan layar laptop yang ukurannya lebih besar dari yang biasa aku pakai. Jariku perlu beradaptasi dengan sesuatu yang baru lagi tapi masih bisa bergerak dengan lincah. Aku menyukainya. Aku suka sesuatu yang baru ternyata. Mungkin aku memang mendamba sesuatu yang baru. Kegiatan baru, tempat baru, atau aktivitas baru misalnya. Tapi bagaimana aku memulai semuanya? Aku sangat tahu keadaan diriku. Diriku yang terlalu malu untuk berhadapan dengan tatapan bingung banyak orang. Tapi aku terlalu jengkel dengan tatapan yang sama. Tatapan merendahkan atau mungkin entahlah, mungkin memang merendahkan.

“Lihat, semua orang yang ada di rumahnya sibuk melakukan banyak hal. Kecuali dirinya, hanya sibuk dengan tulisan dan buku yang tak lepas dari genggaman tangan” atau “Lihat wajahnya, kulitnya, jangan mau seperti dia. Rawatlah dirimu kau ini wanita”. Itu kata-kata orang lain yang selalu aku bayangkan dalam pikiranku. Walau mungkin sebenarnya mereka tak pernah benar-benar mengatakannya, pikiranku memang terlalu liar menilai diri sendiri. Aku benci pikiranku, sama dengan mataku yang berujar jijik setiap melihat pantulan wajah pemiliknya di cermin. Ah benci. Aku hanya benci diriku. Sungguh tak ada yang lain.

Mungkin aku memang aku perlu perubahan. Sama seperti jariku yang keasyikan menari di atas keyboard yang baru dikenalnya. Sama dengan mataku yang asyik melihat pemandangan baru di atas puncak gunung sana. Sama dengan pikiranku yang asyik kebingungan melihat jalan yang bau dilintasinya, sekaligus mataku yang juga asyik mencari tempat tujuan di google maps menemani kedua kakiku berjalan-jalan di kota Bandung tadi.

Mungkin aku memang perlu perubahan untuk melihat diriku menjadi orang yang baru lagi. Setidaknya mataku tak akan bergidik ngeri setiap melihat pantulanku. Seperti kucing yang senang menggesekan tubuhnya ke tubuhku. Aku yakin aku orang yang cukup baik dan menyenangkan. Oh iya, ada empat orang temanku yang selalu setia menungguku keluar dari rumah. Mungkin nanti aku harus meminta maaf pada mereka atas semua alasan yang aku keluarkan supaya aku gak mengikuti jadwal liburan mereka.

Tapi, bagaimana cara memulainya? gimana caraku untuk berubah? Katanya setiap orang akan berubah sesuai dengan tempat yang mereka tempati. Tapi aku disini, sendirian. Aku gak pergi kemana-mana. Mungkin Allah belum mempercayaiku untuk pergi keluar sendiri. Karena lihatlah mengurus diri sendiri pun tak becus. Allah sayang padaku, Dia gak mau aku mati konyol sendirian di luar sana. Kalau aku sudah siap, aku yakin Allah akan membawaku dan mengizinkanku menginjak banyak tempat yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya. Kebiasaan, setiap aku menulis tulisanku akan melantur kesana-kesini. Jadi, gimana caranya untuk berubah? dengan sendirian maksudnya.

Apa aku harus mulai keluar dari rumah mungkin beberapa meter saja. Waktu setelah subuh pasti waktu yang paling baik untuk jalan-jalan. Karena sore hari di sini banyak diisi oleh anak muda yang suka bermain bola voli. Aku terlalu takut melintas kesana sendirian. Kalaupun aku keluar pagi, aku udah harus sampai ke rumah setidaknya pukul setengah tujuh karena pasti udah banyak anak sekolah berlalu lalang. Ternyata aku memang terlalu penakut, penakut pada spesies yang sama denganku. Dengan makhluk yang memiliki dua tangan, berjalan dengan dua kaki, punya hidung dan satu mulut, dua mata dan telinga, dan mulut yang banyak omong itu. Kita sama bukan. Tapi mereka makhluk paling menakutkan yang tak mau aku temui. Setiap melihat mereka tanganku berkeringat, kakiku juga jadi lebih berat untuk digerakkan, aku juga sering merasakan kepala dan punggungku tiba-tiba menunduk, ingin berubah jadi kura-kura. Parah sih.

Oke, mulai dari keluar rumah ya. Ke kebun saja lah dulu bertemu dengan belalang dan ikan lele yang ada di kolam kecil di kebun Nenek. Menyapa kucing yang ada di jalanan dan memetik dedaunan di pinggir jalan, kalau aku lagi beruntung mungkin aku bisa sekalian memetik buah arbei yang tumbuh secara liar di pinggiran kebun dan jalan. Aku juga perlu membuktikan bahwa pikiran burukku adalah kesia-siaan dan mulai mendengarkan pikiran baik tentang diriku sendiri.

Mungkin dengan begitu, aku bisa menjadi orang yang lebih bahagia dan lebih senang menjalani takdir yang Allah gariskan. Bukankah itu adalah do’a yang selalu aku panjatkan, supaya aku menjadi orang yang selalu bahagia menjalani takdir yang digariskan untukku. Takdir itu mungkin juga perlu aku ubah supaya sejalan dengan apa yang aku mau. Aku perlu membangun keyakinan untuk takdir-takdir baikku. Karena Allah itu tergantung prasangka hambaNya dan aku mau menjadi hamba Nya yang bahagia di dunia dan akhirat.

Cuma itu yang bisa aku pikirkan saat ini, cara berubah yang kedengarannya cukup simpel didengar. Tapi aku yakin cukup sulit dilakukan, karena ini menyangkut kenyamanan sekaligus ketakutanku. Tapi ini adalah gebrakan, aku yakin dengan itu. Ya sudah aku mulai saja dulu. Jalan ke depan rumah aja dulu hehe.


Komentar